Benarkah Sering Baca Berita Buruk Bisa Membahayakan Kesehatan?
Penyebaran berita saat ini memang terbilang cukup mudah. Kita bisa mendapatkan berbagai informasi dan berita dari berbagai sumber, baik televisi, koran, atau bahkan secara online. Namun, bukannya mendapatkan informasi yang diperlukan, kebanyakan orang ternyata mengaku stres setelah membaca berita, terutama berita buruk.
Mungkin tidak sedikit berita yang Anda abaikan, namun banyak pula berita yang Anda simak, baik karena penasaran atau terpancing untuk menyaksikannya. Bahkan, tidak menutup kemungkinan Anda juga bisa sangat terpengaruh dengan kejadian buruk di suatu tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari Anda.
Menurut survei yang dilakukan oleh Pew pada tahun 2015, 65% orang dewasa sekarang menggunakan situs jejaring sosial dan hampir sebagian dari mereka mengonsumsi berita buruk. Lalu, benarkah sering baca berita buruk bisa membahayakan kesehatan ? Simak penjelasannya dibawah ini !
Respons tubuh saat membaca berita buruk
Sebenarnya otak sudah terprogram untuk memproses stres yang berkaitan dengan trauma. Bahkan dalam kondisi yang normal, otak memiliki respons penolakan dampak negatif dari sebuah kabar buruk.
Walaupun demikian, paparan yang terus-menerus terhadap trauma dapat menggagalkan kemampuan Anda untuk mengatasi stres dengan baik dan menghambat diri untuk kembali ke kondisi rileks. Hal ini disampaikan oleh Sussanne Babbel, seorang psikoterapis spesialis pemulihan trauma.
Babbel menyebutkan jika setiap kali Anda mengalami atau mendengar peristiwa traumatis, maka Anda akan mask ke mode stres. Anda mungkin mati rasa atau memiliki respons ketakutan yang terlalu aktif terhadap ancaman yang dirasakan. Fisiologi Anda dipicu untuk melepaskan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin.
Idealnya, setelah ancaman yang dirasakan dapat teratasi, tubuh akan kembali tenang. Namun, paparan berulang terhadap peristiwa traumatis yang sama atau lebih besar dari sebelumnya, dapat mengganggu pemulihan yang seharusnya tenang itu.
Babbel juga menambahkan, seiring waktu, ketika Anda mengalami proses ini lagi dan lagi, maka kelenjar adrenalin bisa menjadi lelah. Kelelahan adrenalin bisa menyebabkan rasa lelah di pagi hari, kurang tidur nyenyak, kecemasan dan depresi, serta banyak gejala lainnya.
Pada tahap yang lebih lanjut, terlalu sering mendengar berita buruk juga bisa membuat Anda kurang peduli, lebih apatis dan merasa berkurangnya urgensi tentang krisis yang dihadapi.
Selain itu, penyajian berita modern yang cenderyng lebih banyak menampilkan visual dan hal-hal yang mengejutkan ternyata dapat mempengaruhi psikologis orang yang menontonnya. Alhasil, dampak yang diterima adalah timbulnya stress, rasa sedih, gelisah, gangguan suasana hati, sulit tidur, atau bakan perubahan perilaku menjadi agresif. Perubahan cara penyajian berita ini sudah terjadi dalam 15 samapi 20 tahun terakhir.
Selain gangguan mental, perubahan penyajian berita ini juga ternyata bisa memberikan damapk buruk bagi kesehatan fisik. Hal ini disebabkan oleh naiknya jumlah hormon stress, yaitu kortisol dalam tubuh. Hormon ini bisa memicu peradangan dalam tubuh dan meningkatkan risiko terkena rheumatoid arthritis, penyakit pada organ kardiovaskular dan berbagai penyakit berbahaya lainnya.
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi paparan ini terus-menerus yaitu dnegan tidak terlalu terbebani dengan berita buruk dan berlarut-larut. Setiap orang emmiliki batas yang berbeda, dan Anda harus mencari tahu apa batas Anda.
Menetapkan batas pada seberapa banyak Anda melihat berita atau membuka media sosial, dapat menciptakan ruang dan waktu untuk menenangkan respons stres sistem saraf. Contohnya dengan mematikan notifikasi di ponsel hingga mengurangi konsumsi berita buruk.
"Hal terpenting adalah memperhatikan diri sendiri ketika sudah kelebihan beban, ketika Anda mulai merasa tertekan, ketika Anda merasa mati rasa, murung, kesal atau gejala lain dari respons sistem saraf. Setiap kali Anda merasa jenuh, itu adalah sinyal bahwa Anda harus berhenti sejenak dari mengonsumsi segala informasi," kata Babbel.
By Sri Maryati - Kesehatan Rabu, 06 Juni 2018 11:33:23